Jul 5, 2015

Sejarah Singkat Tante Lien Yang Sejak Kecil Kental Dengan Budaya Indonesia.

”Tambah lagi dong nasi gorengnya!” begitulah kira-kira terjemahan lagu ”Geef mij maar nasi goreng”, yang dilantunkan Oma Wieteke Van Dort. Lagi ini kondang sekali di Belanda dan terutama di kalangan warga intelektual paruh baya Indonesia.
Geef mij maar nasi goreng” liriknya berbahasa Belanda, dan ditebari sejumlah kosakata makanan khas Indonesia : sambel, krupuk, bandeng, trasi, tahu petis, sate babi, ketela, bakpao, ketan, gula Jawa, lontong, onde-onde, kue lapis.
Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort, atau dikenal pula dengan sebutan Tante Lien, lahir di Surabaya, 16 Mei 1943. Di Belanda, ia dikenal sebagai aktris, kabaretis, dan penyanyi. Tante Lien tenar pula sebagai pembawa acara program televisi untuk anak-anak dan sebagai host acara Late Lien Show, acara TV bertema cinta Indonesia, sebagai bekas tanah kolonial. Cinta Indonesia itu ditampakkan oleh Tante Lien lewat lirik-lirik lagunya : Arm Den Haag, Nacht over Java (Night in Java), Terug naar Surabaya, dan beberapa judul lagunya. Iapun menyanyikan Krontjong Kemajoran, Boelan Pakai Pajung, Ajoen-ajoen, Nina Bobo dan lagu-lagu Indonesia yang lain, dengan membawa kekentalan irama keroncong. Tiap show, ia pakai busana Indonesia. Kangen berat pada atmosfir Indonesia yang teduh dan sejuk dan sarat nostalgia masa kecil, begitulah kira-kira yang ada di benak Tante Lien lewat lagu-lagunya. Ini bisa difahami karena pada saat ia berusia 14 tahun, ketika ia tengah berlibur ke Belanda, Sukarno (Presiden) sedang gencar-gencarnya menggelar naturalisasi. Ini menyebabkan Tante Lien tak bisa balik ke Surabaya. Tante Lien juga menyindir habis pemerintah kolonial Belanda dengan lagu Arm Den Haag (Kasihan Deh Den Haag), yang juga banyak diselingi kosa kata bahasa Indonesia. Den Haag yang merupakan simbol pemerintahan Belanda ia olok-olok lewat lirik lagu itu. Inilah lirik laguArm Den Haag dan terjemahannya :
Arm Den Haag, dat is toch erg, dat jij maar niet vergeten kan
(Kasihan banget Den Haag, kau tidak mungkin melupakannya)
De klank van krontjong en van gamelan
(Suara merdu musik kroncong dan alunan gamelan)
In het Indisch restaurant gonst het gesprek van alle kant: Tempo doeloe, tempo doeloe in dat verre, verre land
( Di restoran Indonesia terdengar pembicaraan dari berbagai sudut: Tempo dulu, tempo dulu, di tempat yang sangat jauh itu)
Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij
(Ah, sayang, itu semua kini telah berlalu, sayang, semuanya telah berlalu)
Den Haag, Den Haag, de weduwe van Indie ben jij
(Den Haag, Den Haag, kau sekarang jadi janda dari Hindia Belanda)
We kunnen hier hues wel Indisch eten thuis klaarmaken sambal goreng telor, sajoer lodeh, tahoe petis
(Kita di sini – di Belanda - memang benar bisa membuat sendiri masakan Indonesia  seperti sambal goring telur, sayur lodeh, tahu petis)
Alleen, de buren hebben het niet zo graag
(Hanya saja, tetangga kita tidak begitu suka bau tumisan bumbu masak itu)
En we kunnen hier ook hues wel tropische planten kopen
(Dan kita di sini memang biss membeli tanaman tropis)
Zoals bijvoorbeeld kembang sepatoe. Dat noemen ze hier hibiscus, hibiscus
(Seperti misalnya kembang sepatu, yang orang sini sebut sebagai hibiscus, hibiscus)
En allerlei varens: canna’s, gerbera’s, orchideeen
(Dan berbagai tanaman bunga lainnya: kana, gerbera, dan anggrek)
Maar het staat hier in de huiskamer toch heel anders
(Tetapi bunga-bunga itu di sini hanya bisa dipajang di dalam rumah, jadi tentu saja beda sekali suasananya)
Dan daar in de vrije natuur, ja trouwens, ze gaan allemal dood bij de kachel
(Dibandingkan di sana –di Indonesia – mereka tumbuh di alam terbuka. Di sini, tanaman-tanaman itu akan mati oleh panasnya perapian)
En weet u, ik heb thuis zo’n groot schilderij hangen (Dan tahukah anda, di rumahku, aku punya lukisan besar yang kugantung di dinding)
Dat verbeeldt natuurlijk Indie, ja Adoe, beeldig, beeldig
(Dan lukisan itu tentu saja lukisan tentang alam Indonesia, ya ampun, bayangan itu, bayangan itu….)
Mooiie groene sawahs, klapperbomen
(Hamparan sawah hijau yang indah, pohon-pohon kelapa ….)
Links een karbouw met zo’n kleine katjong op z’n rug, ja
(Di sebelah kiri, berdiri seekor kerbau dengan seorang anak gembala kecil di punggungnya, ya)
En rechts een pahman met zeven van die leuke kleine bebeks achter zich aan
(Dan di sebelah kanan, seorang paman dengan tujuh bebek-bebek yang lucu berjalan beriringan)
Maar weet u, het schilderij, het krijgt hier geen licht genoeg
(Tetapi tahukah anda, lukisan itu di sini tidak mendapat cukup sinar lampu)
Weet u wat nog meer Meneer Le Clerque-Zubli hij komt ook nooit meer langs
(Dan maukah tahu lagi …..? Tuan Le Clerque-Zubli tidak pernah mampir ke rumahlu lagi…)
Tante Lien boleh jadi memiliki raga Belanda, tapi hatinya Indonesia. Dan justru karena ini ia dihargai oleh Belanda dan Indonesia. Belanda menghargainya karena memandang Tante Lien sebagai representasi sosok yang harus berterimakasih pada negeri jauh yang kekayaannya diraup selama 350 tahun untuk menghidupi Belanda, sementara publik Indonesia menghargainya karena Tante Lien berhasil menyulut semangat untuk mencintai negeri kita yang permai ini.
Berkat konsistensinya dalam memperkenalkan kultur Indonesia pada publik Belanda, pada tanggal 29 April 1999 Wieteke van Dort dianugerahi penghargaan Ksatria Bintang Jasa Oranye-Nassau, dari Kerajaan Belanda.

http://www.kompasiana.com/
https://id.wikipedia.org

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment