Alkisah, ada seorang anak muda yang hidup menjadi pengembala di desanya. Anak itu berperawakan gagah dan memiliki akal yang melebihi seusianya. Budi pekertinya baik, begitu dengan etika dan gelagat yang ia tunjukkan. Maka, tatkala seorang menteri datang ke desa, penduduk menunjuk anak muda tersebut yang menemani menteri.
Pada awalnya, menteri tersebut meremehkan si anak muda. Bagaimana tidak? Lelaki itu hanya pengembala. Bukan siapa-siapa dan tidak memiliki pangkat. Namun, begitu melihat bagaimana tutur katanya yang begitu santun, serta akalnya yang menawan sang menteri menjadi terkagum. Maka, sang menteri menawarkan pemuda tersebut untuk ikut belajar dengannya. Namun, Pemuda itu menjawab, “Untuk apa? Tak ada gunanya. Di sana ataupun di sini sama saja. Saya masih tetap pintar dibandingkan penduduk desa.”
Sang menteri terdiam. Kemudian, ia berkata,”Mengapa tidak? Saya menjanjikan penghidupan yang lebih baik. Di sini, kamu tak akan jadi apa-apa.” Namun, pemuda itu menyangkal,”Sebab apa Anda bisa berkata itu, Tuan? Saya sudah jadi raja di sini tanpa harus belajar dengan Anda. Kalau benar Anda ingin berikan pengajaran, ambil saja dia,”ujar si pemuda sembari menujuk random ke sekitarnya.
Sang menteri mengikuti arah telunjuk pemuda berada. Jari itu tertuju pada lelaki yang berbaju kumal. Menteri kembali berkata,”Kamu yakin menyerahkan penawaran ini padanya? Kamu tak ingin penghidupan yang lebih baik?” Pemuda itu menggeleng. Lantas, menteri itu menganggukkan kepala. Dengan senyum, ia mendekati lelaki berbaju kumal dan mengajaknya ikut serta. Detik berikutnya, baik menteri dan lelaki berbaju kumal itu sudah menjauhi desa.
Lalu, tibalah pada suatu masa dimana tahun sudah mulai menggerus usia, dan tanah kering sebab panas meranggas. Si pemuda pengembala tengah berada dalam pasar menentukan berapa banyak beras yang di dapat Ibu tua bila Ibu tersebut memberikan satu semangka pada penjual. Adu mulut terus terjadi, sebab tak ada yang mengalah. Sampai, datanglah seorang lelaki mencoba meredam emosi. Dengan cekatan, ia mengambil batu dan kayu. Kemudian, lelaki tersebut meletakkan kayu di atas batu, dengan sama panjang disisi batu yang berlainan.
“Untuk apa itu?”ucap pemuda pengembala dengan nada sarkastik. Lelaki tersebut hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia lebih memilih untuk meletakkan semangka di salah satu sisi kayu, kemudian meletakkan dua kantung beras di sisinya yang lain. Sesaat, ia terdiam. Lantas, ia mengambil satu kantung lagi dan meletakkannya bersama dua kantung lain. Papan kayu tersebut terlihat sejajar dan pada ketinggian yang sama. Ia tersenyum.
“Nah, ibu dapat 3 kantung beras untuk semangka ini.”ucapnya. Pemuda pengembala merasa tersinggung. Terlihat sudut alisnya bertemu dan nafasnya memburu. Dengan lantang ia berkata,”Sok tahu sekali kamu. Kamu siapa bisa begitu saja menentukan? Apa dasar pemikiranmu!”
Dengan tenang, lelaki tersebut mengambil 1 kantung beras dan meletakkan di sisi kanan papan kayu. Lalu, ia mengambil kembali 1 kantung beras lain dan meletakkannya di sisi kayu yang lain. Setelahnya, ia berkata,”Lihat, papan kayunya berada pada posisi yang sama, kan? Tinggi dan jajarannya sama. Itu berarti beratnya sama. Coba saya ambil kantung yang di sebelah kiri. Bisa dilihat, papannya akan jatuh di sebelah kanan. Ini sebab berat lawannya kalah. Coba saya letakkan kembali karung ini di tempat tadi. Nah, sejajarkan mereka? Ini karena berat lawannya sama.”
Begitu mendengar penuturan si lelaki, penduduk ber-oh ria. Pemuda pengembala merasa tergerus harga dirinya, sebab dikalahkan pemikiran oleh si lelaki. Maka, iapun membuktikan sendiri dan mulai menimbang menggunakan kayu yang ditopang batu tersebut. Berkali-kali ia mencoba, dan hasilnya selalu sama. Sama seperti perkataan lelaki tersebut.
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa mengalahkan ilmu saya?”tanya pemuda pengembala pada lelaki tersebut. “Saya hanyalah lelaki kumal yang dulu kamu beri kesempatan untuk belajar. Dan atas itu, saya ucapkan banyak terimakasih padamu.”
Ucapan lelaki tersebut membuat si pemuda pengembala lemas. Ia seperti menelan sebongkah batu, dan batu tersebut menghatam jantungnya. “Kamu, yang dungu, bisa sepintar ini. Menteri itu hebat sekali.”ucapnya tertegun. Lelaki itu berkata, “Iya, beliau mengajarkan saya banyak hal,”balas lelaki tersebut. Pemuda pengembala kembali berkata,”Menteri itu, kapan kembali mengawasi desa kita? Aku, aku ingin bertemu dengannya. Meminta pengajaran darinya.”
Si lelaki terdiam sembari menunduk. Lalu, setelah udara melegakan paru-parunya, ia menjawab,”Tuan menteri sudah lama meninggal. Sebagai gantinya, saya yang berkeliling menggantikan beliau...”
Setelah itu, suara lelaki tersebut tak mampu ditangkap pemuda pengembala. Pemuda tersebut sudah lebih dulu tenggelam dalam penyesalannya sendiri.
***
Yap, sepenggal kisah di atas mungkin terlihat absurb. Tapi, paling tidak memberikan sebuah gambaran kepada kita, bahwa kesempatan tak akan terulang lagi untuk kedua kalinya. Kesempatan belajar pada menteri itu ibarat hidayah yang sekarang sudah kita dapatkan. Hidayah ini juga berarti kita diberikan kesempatan oleh Alloh untuk menjadi calon penghuni surga; menjadi makhluk yang dimuliakan oleh Alloh.
Namun, kesempatan yang kita pegang ini, yaitu hidayah, haruslah kita genggam erat. Sebab, sekali saja jemari kita melonggar, kesempatan ini bisa jatuh tercecer bahkan hilang selamanya. Maka, sebagai makhluk yang sudah diberikan kesempatan oleh Alloh ini, kita patut sekali bersyukur, patut sekali mempertahankan hidayah sak pol kemampuan kita. Jangan sampai kita menyesal seperti si pemuda pengembala. Si pengembala sih enak, menyesalnya masih dalam desanya. Fiktif lagi. Lha, kalau kita, hilang kesempatan berarti neraka. Sementara, neraka itu adalah siksaan paling dahsyat yang Alloh janjikan sebagai ganjaran bagi makhluk-Nya yang tidak mau to’at padanya.
Kita tidak ada yang mau masuk neraka, kan? Semua maunya menjadi penghuni surga kan? Maka, genggamlah kesempatan yang ada ini dengan erat. Genggam, bahkan bila darah yang menghiasi tanganmu hanya tinggal semili. Genggam erat, seperti kamu enggan melihatnya terbuang. Sebab, bila jarimu terlonggar sedikit, kesempatan yang kamu genggam ini bisa saja tercecer, bahkan jatuh menghilang.
Ingat, ya. Genggam terus hidayahmu. Jangan sampai hidayahmu hilang. (C.id)